Panitia Khusus (Pansus) Kelapa Sawit DPRD Provinsi Gorontalo kembali menggelar rapat kerja bersama sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis, perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan Koperasi Palma Mandiri Sejahtera, Senin (14/7/2025), di ruang rapat Dulohupa. Fokus utama rapat adalah pengawasan terhadap pemanfaatan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang dikuasai oleh PT Palma Grup selaku pengelola kawasan perkebunan sawit di wilayah tersebut.
Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Pansus Umar Karim, dan dihadiri para anggota pansus, termasuk Hj. Sitti Nurayin Sompie, Ramdan Liputo, Limonu Hippy, Hamzah Muslimin, dan Hais Ayuwa. Pihak PT Palma Grup diwakili oleh Agus Prabowo selaku manajer wilayah, bersama tim teknis dan humas.
Dalam rapat, Pansus menyoroti ketimpangan dalam pengelolaan HGU, khususnya terkait legalitas pemanfaatan lahan, kontribusi terhadap daerah, serta dampaknya terhadap masyarakat sekitar.
Ketua Pansus Umar Karim menyebut pihaknya tengah mengkaji kemungkinan penarikan kembali lahan-lahan HGU yang tidak digunakan secara aktif. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan UU Cipta Kerja, lahan yang tidak ditanami dalam waktu tertentu bisa dikategorikan sebagai lahan terlantar.
“Pemerintah daerah memiliki dasar hukum untuk menarik kembali lahan HGU yang tidak diusahakan, lalu mengusulkan redistribusinya ke masyarakat,” tegas Umar.
Temuan lebih lanjut juga datang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Gorontalo, yang menyebut PT Palma Grup tidak melaksanakan kewajiban pelaporan tahunan penggunaan lahan selama hampir satu dekade.
Namun puncak kritik dilontarkan oleh anggota pansus, Limonu Hippy. Legislator Gerindra ini menuding PT Palma Grup tidak memiliki itikad baik dalam menyelesaikan persoalan pembebasan lahan dengan masyarakat.
“Perusahaan tidak transparan, masyarakat tidak diberi salinan dokumen pembebasan lahan. Ini upaya pembodohan,” kecam Limonu.
Ia bahkan menuding perusahaan telah merugikan negara dan masyarakat dengan membiarkan ribuan hektare lahan terlantar. Limonu juga memperingatkan bahwa sesuai aturan yang ada, pemerintah bisa menarik kembali konsesi tersebut.
“Saya tidak punya kepentingan politik di wilayah ini. Tapi kalau perusahaan seenaknya merampas hak rakyat, saya harus bersuara. Ini bukan investasi, ini penindasan!” tegasnya.
Sejumlah masyarakat yang hadir dalam forum turut menyampaikan keresahan mereka. Pola kemitraan yang dijalankan perusahaan dinilai tidak memberi manfaat layak. Anggota pansus mengungkapkan, banyak warga hanya menerima Rp1.000 hingga Rp2.000 per hektare per bulan dari lahan yang mereka serahkan.
“Nilai itu sangat jauh dan mencerminkan kegagalan sistem kemitraan,” ujarnya
Menutup rapat, Pansus menegaskan pentingnya restrukturisasi hubungan kemitraan antara perusahaan dan petani plasma, serta penguatan pelaporan oleh OPD teknis. Pansus juga akan melakukan kunjungan lapangan guna mencocokkan fakta dan mengumpulkan bukti tambahan sebelum menyusun rekomendasi kebijakan daerah terkait tata kelola perkebunan sawit di Gorontalo.