Universitas Negeri Gorontalo (UNG) kini tengah dihadapkan pada persoalan serius yang kian sulit diabaikan, penumpukan sampah plastik di area kampus.
Gelas kopi sekali pakai, kantong plastik, hingga bungkus makanan menjadi pemandangan yang nyaris akrab di setiap sudut lingkungan kampus.
Fenomena ini bukan hanya soal kebersihan, tetapi cerminan nyata dari krisis kesadaran ekologis di kalangan mahasiswa, sekaligus tanda lemahnya sistem dan kebijakan kampus dalam menata pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Sebagai institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter dan etika sosial, UNG justru menghadapi paradoks: di ruang-ruang kuliah sering dibicarakan isu pembangunan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial, namun di kehidupan kampus sehari-hari, praktik itu belum tampak nyata.
Sampah plastik terus menumpuk tanpa penanganan yang sistematis, sementara regulasi yang mengatur tentang pengelolaan dan pengurangan sampah plastik belum juga hadir. Akibatnya, upaya menjaga kebersihan dan kesadaran lingkungan berjalan sporadis, bergantung pada segelintir komunitas dan organisasi yang peduli terhadap isu ekologis.
Fenomena lain yang tidak bisa diabaikan adalah menjamurnya pelaku UMKM kecil di sekitar kampus, terutama penjual kopi dan minuman ringan dengan kemasan plastik sekali pakai. Aktivitas ekonomi ini tentu memberi warna dan manfaat tersendiri, menghadirkan ruang interaksi sosial dan peluang ekonomi bagi mahasiswa serta masyarakat kecil. Namun, menjadi ironi ketika pihak kampus melalui Badan Pengelola Usaha (BPU) hanya berperan sebagai pemungut pajak tanpa disertai kebijakan yang mengatur dampak lingkungan dari aktivitas tersebut.
Penting untuk digarisbawahi bahwa tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyudutkan para pelaku UMKM, terlebih para penjual kopi yang kini menjadi bagian dari denyut kehidupan kampus. Justru sebaliknya, tulisan ini mengajak semua pihak, mahasiswa, birokrasi, dan pelaku usaha untuk merenungkan kembali peran masing-masing dalam menjaga lingkungan kampus dari ancaman krisis sampah plastik. Karena sesungguhnya, permasalahan ini bukan soal siapa yang salah, tetapi soal bagaimana kita semua bisa ikut bertanggung jawab dan mencari solusi yang berkeadilan bagi lingkungan bersama.
Kampus seharusnya tidak hanya memungut pajak, tetapi juga menghadirkan kebijakan ekologis yang mengatur penggunaan wadah ramah lingkungan, sistem pengelolaan limbah plastik, hingga insentif bagi pedagang yang berupaya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Tanpa regulasi yang berpihak pada keberlanjutan, aktivitas ekonomi kampus justru menjadi penyumbang sampah terbesar di lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi teladan dalam menjaga bumi.
Di sisi lain, sebagian mahasiswa juga masih berpikir bahwa persoalan sampah adalah tanggung jawab cleaning service semata. Pola pikir ini memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi belum sepenuhnya berhasil menanamkan nilai tanggung jawab ekologis. Mahasiswa, yang sejatinya menjadi agen perubahan, justru abai terhadap masalah sederhana yang berdampak besar. Mereka mungkin bicara lantang soal perubahan sosial, tetapi lupa bahwa perubahan sejati dimulai dari kesadaran kecil, seperti tidak membuang sampah sembarangan.
Permasalahan sampah di kampus UNG pada dasarnya bukan sekadar soal teknis, melainkan persoalan mentalitas dan etika ekologis. Kampus yang seharusnya menjadi ruang belajar dan pembentuk karakter kini diuji sejauh mana ia mampu menerapkan nilai-nilai keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui tulisan reflektif ini, saya pribadi berharap pihak birokrasi UNG dapat melihat persoalan ini secara lebih serius, tidak hanya sebagai isu kebersihan, tetapi sebagai krisis kesadaran ekologis yang memerlukan solusi konkret dan berkelanjutan. Diperlukan kebijakan yang berpihak pada lingkungan, sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi, serta program edukasi ekologis yang menumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan civitas akademika.
Kampus yang bersih dan hijau tidak akan tercipta hanya dari kerja petugas kebersihan, tetapi dari kesadaran bersama bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari integritas akademik dan moral kita sebagai manusia berpendidikan.
Tulisan ini bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk refleksi, bahwa setiap gelas kopi yang kita beli, setiap sampah plastik yang kita buang, adalah bagian dari tanggung jawab yang harus kita sadari bersama. Karena perubahan sejati tidak datang dari kebijakan semata, tetapi dari kesadaran yang tumbuh dalam diri setiap individu yang mencintai kampus dan bumi tempatnya berpijak



















