Agung Nugroho Bobihu_Masyarakat biasa
Menjalarnya kebodohan pada KPU Gorontalo Utara yang meloloskan calon terpidana baru-baru ini sangat terlihat ketidak seriusan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.
Sebelum menjawab pertanyaan yang di atas, kita cari tahu terlebih dahulu kesalahan apa saja yang ada pada kontestasi politik Gorontalo Utara saat ini. Sebab, menghakimi tanpa kejelasan yang jelas disebut sebagai penghakiman yang buta, namun tulisan ini bukanlah menghakimi, akan tetapi sebagai bentuk narasi Evaluasi yang menjelaskan kepada masyarakat yang masih belum memahami di mana letak dasar kebodohan KPU dan bawaslu Gorontalo Utara.
Persyaratan menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, tercantum pada Pasal 4 point F yaitu:
1. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan atau tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
f1. bagi terpidana yang tidak menjalani pidana di dalam penjara meliputi:
1. terpidana karena kealpaan; atau
2. terpidana karena alasan politik.
Akan tetapi KPU Gorontalo Utara meloloskan 1 calon yang berstatus terpidana dengan alasan beberapa pertimbangan mendiskualifikasi. “Pasal 14 huruf f (PKPU 8/2024) yang (menyatakan) tidak pernah dipidana dengan ancaman lima tahun atau lebih kecuali pidana politik dan seterusnya, salah satu komisioner KPU Gorontalo Utara mengatakan bahwa Keputusan KPU untuk memasukkan kembali Paslon Bupati dan Wakil Bupati Gorontalo Utara Nomor Urut 3 Ridwan Yasin dan Muksin Badar dikarenakan rekomendasi Bawaslu Kabupaten Gorontalo Utara.
Pemungutan Suara Ulang Gorontalo Utara bukan sekadar koreksi teknis pemilu, tetapi gambaran nyata ketidakprofesionalan serta kebodohan KPU dan bawaslu sebagai penyelenggara memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik.
Sudah jelas ada pelanggaran yang mengarah pada diskualifikasi, mengapa KPU tidak bertindak sejak awal? Jika aturan ditegakkan dengan ketat sejak tahap verifikasi, PSU mungkin tidak akan terjadi. Akibat ketidakprofesionalan KPU, anggaran negara kembali terkuras untuk mengulang proses yang seharusnya bisa dikendalikan lebih dini. Hal ini mengakibatkan kerugian negara karena anggaran yang terbuang sia-sia. Bukankah anggaran ini lebih baik di pergunakan untuk kebutuhan lain yang bisa mengatasi kemiskinan yang ada Gorontalo Utara, melihat Gorontalo Utara adalah salah satu kabupaten termiskin di Provinsi Gorontalo
Ada pribahasa yang mengatakan
Keledai pun tak akan mau terperosok ke dalam lubang yang sama sampai dua kali!” Peribahasa ini cukup menggambarkan tidak ada orang normal yang mau melakukan kesalahan yang sama sampai dua kali, kecuali dia lebih bodoh daripada keledai.
Namun, di dalam kenyataannya di Gorontalo Utara, KPU dan Bawaslu sering melakukan kesalahan yang sama bahkan lebih dari dua kali dalam mengambil suatu kebijakan. Ironisnya, DKPP yang seharusnya bertanggung jawab atas kebodohan KPU karena kewenangannya, akan tetapi tidak memberikan sanksi Kepada KPU Gorut. Ini juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terus terulangnya kesalahan yang sama setiap pesta demokrasi.
PSU Gorontalo utara menjadi refleksi bahwa pemilu di Gorontalo Utara masih memiliki banyak kesalahan, terutama dalam pengawasan dan ketelitian dalam mengambil keputusan. KPU sebagai penyelenggara harus dievaluasi agar kejadian serupa tidak terulang. Jika tidak ada evaluasi, maka demokrasi kita akan terus menghadapi masalag yang sama.
Masyarakat perlu mendapatkan pesta demokrasi yang berkualitas. Jangan sampai pesta demokrasi sekadar formalitas yang menghabiskan anggaran negara karena kelalaian dan kebodohan penyelenggara pesta Demokrasi.