BeritaNasional

Ruang Publik Ditinggalkan Undang-Undang TNI Jalan Terus

46

Setelah revisi undang-undang Tentara Nasional Indonesia  (TNI) disahkan, sorotan publik bukan cuma soal perluasan peran militer di ranah sipil, tapi bagaiaman prosesnya disahkan, tentu banyak dari kita terkejut saat tahu pembahasan revisi ini dilaksanakan secara diam-diam di hotel berbintang lima, bukan di ruang sidang yang terbuka. Minimnya partisipasi publik, juga pembahasan yang tertutup, dan tergesa-gesa tentunya cukup membuat banyak orang curiga, kepentingan siapa sebenarnya yang sedang dilayani oleh undang-undang ini,? Sampai-sampai Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) harus menyusup ke ruang rapat hanya untuk bisa tahu apa yang dibahas oleh wakil rakyat.

Praktik yang berlangsung dalam ruang tertutup, miskin partisipasi publik, dan potensi militer masuk dalam ranah sipil, menjadi alasan diseretnya UU TNI kedalam pengujian konstitusional oleh kelompok dan masyarakat sipil terdampak, berbagai deretan permohonan pengujian pun berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Yang  menarik menurut penulis adalah ketika membaca berita di akhir Juni kemarin. dari Tirto.id, judulnya (Benarkah Masyarakat Sipil Tak Bisa Gugat UU TNI?). isinya kira-kira seperti ini, dalam sidang Mahkamah Konstitusi Pemerintah dan wakil rakyat menyampaikan bahwa mahasiswa, ibu rumah tangga, dan masyarakat sipil tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat UU TNI secara formil, alasannya juga cukup menarik, katanya para pemohon bukan bagian dari institusi militer dan tidak dirugikan langsung oleh revisi tersebut. pikiran saya pun ikut memanas seolah di ludahi oleh perkataan-perkataan tidak berdasar tadi, sebabnya selama dua tahun saya belajar proses pembentukan undang-undang secara teoritis, praktis, dan sampai skripsi saya pun turut dijadikan jalan untuk marah-marah soal proses pembentukan undang-undang Cipta Kerja yang ngaco, ugal-ugalan, serta sembrono, mirip dengan penyimpangan proses pembentukan UU TNI.

Argumentasi pemerintah dan wakil rakyat sebenarnya cukup mengkhawatirkan, karena Seakan-akan hanya mereka yang memakai seragam atau digaji dari institusi pertahanan saja yang boleh bersuara atas masa depan Negara. Padahal, perluasan kewenangan militer ke ranah sipil seperti dalam penanganan bencana, pengamanan objek vital, dan bahkan penanggulangan terorisme jelas berdampak pada hak dan ruang hidup warga biasa. Secara sederhana artinya, sipil justru paling terdampak. Lebih dari itu konteks pengujian undang-undang TNI adalah proses formil yang sudah tentu menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 saat pengujian formil undang-undang Cipta Kerja. bahwa dalam setiap pembentukan undang-undang warga negara diberikan kesempatan untuk ikut serta  dalam menyampaikan pendapat dan aspirasinya terhadap rancangan peraturan perundang-undangan (Right to be Heard), lalu masukan masyarakat harus dipertimbangkan secara serius oleh pembentuk undang-undang (Right to be Considered), dan Pembentuk undang-undang wajib memberikan penjelasan mengenai bagaimana pendapat dan masukan masyarakat telah diakomodasi atau tidak diakomodasi dalam rancangan peraturan (Right to be Explained). Ukuran ini sebenarnya sudah cukup untuk menyadarkan para pembentuk undang-undang.

Proses legislasi miskin partisipasi terus-terusan terjadi, dilema untuk percaya sistem negara selalu terbayang lewat buku-buku yang perna dibaca. Konon katanya negara adalah binatang yang dingin dan tanpa ampun, negara selalu berbohong kepada manusia, mengigit dan mencuri. Anggapan saya, praktik semacam ini akan terus-terusan terjadi, tapi pertanyaan paling mendasar dan cukup rumit adalah, apakah masi ada harapan perbaikan dan sejauh mana kita menaruh harap pada perbaikan dari negara dan pembentuk undang-undang agar memanfaatkan ruang publik sebagai sumber legitimasi pembentukan undang-undang.

Tulisan ini dibuat agar menjadi bagian dari selemah-lemahnya iman perlawanan atas dominasi kekuasaan yang cenderung sentralistik dalam setiap pengambilkan kebijakan. Termasuk revisi UU TNI. Sehingga berangkat dari pertanyaan di atas saya mencoba untuk merefleksikan kembali gagasan Habermas dalam soal-soal pembentukan konsensus lewat karyanya “Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats”  di terbitkan pada tahun 1992 Habermas menulis cukup dalam dan detail. Untuk itu tulisan ini hanya akan menjelaskan bagaimana Habermas mengharapakan ruang publik sebagai sumber otentik dan legitimasi kekuasaan dalam membuat kebijakan, tentu ruang publik bukan satu-satunya indikator Deliberatif, tapi biarkan sisanya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan wakil rakyat agar membacanya kembali secara berlahan dan penuh kesabaran karena jumlah halamannya mencapai 675 halaman, hampir setengah dari halaman undang-undang Cipta Kerja yang disahkan diam-diam.

Jürgen Habermas menggagas konsep Demokrasi Deliberatif sebagai respons terhadap demokrasi prosedural yang elitis dan dangkal. Menurut Habermas, demokrasi yang sehat membutuhkan ruang publik (public sphere) untuk memungkinkan warga negara berdialog secara rasional tanpa dominasi. Sehingga dalam ruang ini argumen tidak hanya lahir dari kekuasaan lalu menjadi dasar pengambilan keputusan (sentralistik)

Pengandaian Ruang publik dari Habermas bukanlah forum elit atau media penuh sensasi lalu minim substansi, tapi  ruang-ruang diskursif dan terbuka bagi para peserta diskusi, Ia membayangkan sebuah ruang sosial agar semua warga bisa saling menyampaikan pendapat secara rasional, tanpa adanya paksaan, apalagi dominasi kekuasaan. Ruang publik bukanlah tempat sembarang, karena di situlah berbagai opini publik terbentuk secara Deliberatif, bukan dikendalikan oleh kekuatan pasar atau negara.

Pertanyaan yang muncul adalah jika ruang publik sebagai sumber legitimasi, maka bagaimana sistem politik (Negara) mengakomodir satu demi satu setiap opini publik, Habermas dalam tulisannya juga mengakui kompleksitas jaringan opini, menurutnya kompleksitas opini publik tidak bisa lepas dari perkataan-perkataan liar dan menyimpang dari norma-norma diskursus, maka dari itu ia menggunakan alternatif yang disebut sebagai aktor publik, aktor publik adalah pembawa kegelisahan warga negara menjadi bahasa yang lebih rasional dan mampu di uji kebenarannya, meski di sisi lain Habermas juga mengakui bahwa bisa saja aktor publik  hanya memanfaatkan ruang publik untuk kepentingan dirinya sendiri, maka dari itu ia memberikan penjelasan lebih lanjut terkait aktor publik.

Menurut Habermas aktor publik di bagi menjadi dua. Pertama aktor publik yang lahir dari lingkungan organik dengan sifat representatifnya, dan aktor publik yang memanfaatkan ruang dan opini publik sebagai kendaraan politiknya. Lalu bagaimana membedakan keduanya, Habermas kemudian menjelaskan istilah politik identitas, Politik identitas yang di maksudnya bertujuan agar publik tau darimana keberadaan dan tempat ia tumbuh, apakah dari pergerakkan organik, atau justru aktor-aktor populis yang muncul secara tiba-tiba. Habermas juga memberikan aktor publik jalan ketiga, yakni media-media jurnalistik. Tugas dan fungsi yang diharapkan dari aktor ini adalah sebagai penghubung antara masyarakat sipil dan sistem politik agar membantu mentransmisikan isu, opini dan tuntutan warga kedalam agenda politik. Selain itu juga media diperlukan sebagai wadah setiap opini untuk diperdebatkan secara seimbang, sehingga kesetaraan pandangan tidak terkooptasi oleh kekuasaan saja.

Sehingga pada prinsipnya ruang publik diharapkan menjadi arena terbuka dan setara, tempat warga berdialog secara rasional, tanpa dominasi kekuasaan atau kepentingan pasar. akhirnya, opini publik terbentuk melalui argumen yang adil, sehingga keputusan politik memperoleh legitimasi dari partisipasi sadar dan Deliberasi bersama seluruh warga negara.

Sebagai akhir dalam tulisan ini, apakah revisi undang-undang TNI benar-benar menjadikan ruang publik sebagai sumber legitimasi proses legislasi. sementara UU TNI sedari awal pembahasan telah terlepas dari ruang publik, hingga Kurangnya pemanfaatan ruang publik pada proses legislasi sudah cukup mencerminkan retaknya komitmen negara terhadap prinsip Demokrasi Deliberatif. Ketika partisipasi publik dikesampingkan, pembentukan undang-undang kehilangan legitimasi moral dan sosial karena lahir tanpa keterlibatan warga yang terdampak.

Exit mobile version