Berita

Kegagalan BPN Mengawal LP2B dan Lemahnya Penegakan Hukum Pertanahan

21

Sebagai lembaga yang memegang kewenangan inti dalam pengaturan, pengendalian, dan pelayanan pertanahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Gorontalo memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan setiap pemanfaatan ruang berjalan sesuai dengan aturan hukum. BPN seharusnya tidak hanya bergerak sebagai institusi administratif, tetapi juga sebagai penjaga awal terhadap setiap bentuk pelanggaran yang berpotensi merusak tatanan pengelolaan ruang wilayah. Peran strategis ini menuntut pengawasan yang ketat, verifikasi yang akurat, dan ketegasan dalam menindak pelanggaran sejak tahap paling awal.

Namun kasus alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang terjadi menunjukkan adanya kelemahan serius dalam pengawasan pertanahan. Fakta bahwa pembangunan fisik telah berdiri di atas lahan LP2B tanpa izin, dan baru diketahui setelah permohonan sertifikat diajukan, mengindikasikan bahwa fungsi monitoring BPN belum berjalan secara maksimal. Dalam konteks pengawasan, kondisi itu menggambarkan bahwa mekanisme deteksi dini tidak efektif, padahal BPN memiliki instrumen pemetaan, survei lapangan, serta kewenangan administratif yang dapat digunakan untuk mencegah pelanggaran sebelum terjadi.

Meskipun BPN Kabupaten Gorontalo telah menolak penerbitan sertifikat berdasarkan status LP2B, langkah itu bersifat reaktif dan muncul setelah pelanggaran terjadi secara nyata. Dalam logika penegakan hukum, pencegahan seharusnya lebih diutamakan daripada tindakan korektif. Ketika bangunan telah berdiri dan perubahan fungsi sudah berlangsung, maka penolakan administrasi saja tidak cukup untuk mengembalikan kepastian hukum maupun menguatkan wibawa lembaga pertanahan.

Lebih jauh, dalam kasus ini BPN seharusnya menjadi Garda terdepan dalam mendorong proses penegakan hukum, karena alih fungsi LP2B merupakan tindak pidana menurut UU 41 Tahun 2009. Sebagai institusi teknis yang mengetahui status dan perubahan penggunaan tanah, BPN memiliki kapasitas dan kedudukan paling kuat untuk memberi laporan resmi, rekomendasi penindakan, atau setidaknya membuat langkah hukum yang mengawal proses pidana agar pelanggaran tidak berhenti sebagai persoalan administratif. Namun hingga kasus tersebut mencuat, tidak ada langkah hukum yang diambil oleh BPN Kabupaten Gorontalo, baik berupa laporan pelanggaran, koordinasi penegakan, maupun upaya mendorong penyidikan kepada aparat penegak hukum.

Tindakan pasif ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai sejauh mana komitmen BPN menjaga integritas tata kelola pertanahan di daerah. Ketika suatu pelanggaran dibiarkan tanpa tindak lanjut hukum, pesan yang tersampaikan kepada masyarakat justru sebaliknya: bahwa pelanggaran dapat terjadi tanpa konsekuensi tegas. Hal ini tidak hanya melemahkan fungsi pengawasan pertanahan, tetapi juga berpotensi menciptakan preseden buruk dimana pelaku pelanggaran, termasuk pejabat publik merasa leluasa mengabaikan batasan hukum yang ada.

Oleh karena itu, BPN Kabupaten Gorontalo perlu melakukan evaluasi internal dan menunjukkan sikap tegas dalam mendorong penegakan hukum atas pelanggaran LP2B. Langkah-langkah proaktif seperti pelaporan resmi, koordinasi lintas sektor, dan penguatan pengawasan preventif sangat dibutuhkan agar kasus ini tidak terulang dan agar perlindungan LP2B benar-benar dijalankan sesuai tujuan undang-undang. Instansi pertanahan memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa aturan tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi diimplementasikan secara nyata demi kepentingan masyarakat dan keberlanjutan wilayah.

Exit mobile version