Berita

Pelanggaran LP2B oleh Pejabat Daerah: Kritik atas Integritas dan Penegakan Hukum

27

Dalam sistem pemerintahan yang sehat, pejabat publik memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga kepatuhan terhadap seluruh aturan yang mengatur penyelenggaraan negara. Setiap tindakan aparatur pemerintah seharusnya mencerminkan integritas, profesionalitas, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Apalagi dalam sektor pengelolaan ruang dan pertanahan, pemerintah dituntut menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan agar kepentingan masyarakat luas tidak terganggu oleh praktik-praktik yang bertentangan dengan regulasi.

Namun, sangat disayangkan idealitas tersebut menjadi timpang ketika seorang pejabat justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Dalam kasus alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), perbuatan ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi merupakan bentuk yang paling serius dari ketidakpatuhan terhadap aturan yang telah ditetapkan negara. Lahan LP2B dilindungi oleh undang-undang karena memiliki peran strategis dalam menjaga ketahanan pangan dan keberlanjutan wilayah, sehingga setiap tindakan pengalihfungsian secara ilegal merupakan ancaman langsung terhadap kepentingan publik.

Pada konteks ini, tindakan H.M., yang diketahui sebagai salah satu pejabat di Badan Keuangan Daerah Kabupaten Gorontalo, patut dikritik secara tegas. Pengajuan permohonan sertifikat atas lahan yang jelas-jelas berstatus LP2B menunjukkan adanya upaya mencari legitimasi atas perubahan fungsi yang dilakukan tanpa izin pejabat berwenang. Tindakan tersebut tidak dapat dilihat sebagai kekeliruan administratif semata. Secara yuridis, perilaku itu memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan LP2B.

Upaya menguasai lahan yang dilarang dialihfungsikan, terlebih dengan mendirikan bangunan di atasnya, menunjukkan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan yang penuh kesadaran. Perbuatan ini mencerminkan rendahnya integritas seorang pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan dalam menaati aturan. Alih-alih menjaga tata kelola yang baik, H.M. justru memperlihatkan perilaku yang berpotensi merusak wibawa pemerintah daerah dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemerintahan.

Lebih ironis lagi, tindakan tersebut dilakukan oleh individu yang berada dalam struktur pemerintahan. Pejabat yang bekerja di lingkungan pengelolaan keuangan daerah seyogianya memahami pentingnya kepatuhan regulatif dalam setiap kebijakan dan tindakan pribadi. Ketika pelanggaran dilakukan oleh orang yang seharusnya memahami sistem, maka bobot kesalahannya semakin besar. Ini bukan hanya pelanggaran etik; ini adalah pelanggaran hukum yang memiliki konsekuensi pidana hingga lima tahun penjara dan denda miliaran rupiah sebagaimana diatur oleh undang-undang.

Perilaku seperti ini tidak dapat ditoleransi dalam kerangka pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan publik. Sebab, selain merusak fungsi LP2B, tindakan tersebut membuka preseden buruk bahwa pejabat merasa bebas melanggar hukum tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. Ketegasan diperlukan agar tindakan serupa tidak terulang dan agar pejabat tidak memanfaatkan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Karena itu, sudah sewajarnya instansi yang berwenang mengambil langkah tegas terhadap perbuatan tersebut. PPNS Pertanian, Kepolisian, dan Kejaksaan perlu menjalankan kewenangan penyidikan sesuai UU 41/2009 untuk memastikan kasus ini tidak berhenti sebagai kesalahan administratif, tetapi diproses sebagai tindak pidana sebagaimana mestinya. Di saat yang sama, Pemerintah Kabupaten Gorontalo perlu melakukan pembinaan dan penegakan disiplin ASN agar integritas pejabat daerah benar-benar dijaga. Penanganan yang cepat dan tegas akan menunjukkan bahwa negara tidak memberi ruang bagi penyimpangan hukum, sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

Exit mobile version