Berita

Tarif Cek Plagiasi di UNG Dikecam: Senma Fakultas Hukum Tuding Kebijakan Rektor Membebani dan Berbau Pungli

8

GORONTALO — Kebijakan Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG) kembali menuai polemik. Melalui *Keputusan Rektor UNG Nomor 879/UN47/HK.02/2024*, seluruh mahasiswa diwajibkan melakukan uji plagiasi melalui Unit Pelaksana Akademik (UPA) Bahasa UNG sebagai salah satu syarat administratif penyelesaian studi.

Namun, yang menjadi sorotan adalah biaya yang dibebankan. Mahasiswa harus merogoh kocek Rp50.000ribu untuk hasil 2 hari, atau Rp65.000 ribu untuk hasil 1 hari. Biaya ini jauh lebih tinggi dibandingkan kampus-kampus lain di Indonesia yang rata-rata mematok tarif di bawah Rp10 ribu bahkan ada yang mengratiskan untuk pengecekan plagiasi.

*Mahasiswa: Kebijakan Berat dan Tidak Masuk Akal*

Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UNG, Sandi Idris mengecam keras kebijakan tersebut.
“Biaya cek plagiasi di UNG sangat tidak rasional. Pertama, harganya jauh lebih mahal dibanding kampus lain bahkan jika dibandingkan dengan penyedia jasa layanan yang sama harganya 10× lipat lebih mahal padahal menggunakaan tools yang sama. Kedua, ini hanya berlaku untuk sekali pengecekan, padahal mahasiswa seringkali perlu revisi. Ketiga, sistemnya diwajibkan hanya di UPA Bahasa UNG, artinya tidak ada opsi lain. Ini jelas membebani mahasiswa dan berpotensi menjadi pungli yang dilegalkan,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan ini justru kontraproduktif dengan semangat kampus Universitas Negeri Gorontalo yang katanya “Kampus Kerakyatan”.

*Komparasi: Kampus BLU Lebih Murah, UNG Kelewat Mahal*

Jika dibandingkan, biaya cek plagiasi di kampus-kampus lain yang berstatus Badan Layanan Umum (BLU) justru gratis. Universitas Negeri Makassar (UNM) misalnya menggratiskan pengecekan plagiasi untuk mahasiswanya. Bahkan hal yang sama berlaku di Universitas Negeri Medan (UNIMED).
Sementara UNG, yang masih berstatus BLU, justru malah menetapkan tarif bahkan lebih tinggi. Padahal status BLU memberi keleluasaan mengelola layanan untuk efisiensi, bukan untuk menambah beban mahasiswa. Padahal jika kita bandingkan dengan perguruan tinggi yang berstatus PTN BH Seperti UGM yang tidak mematok harga sepersen pun untuk layanan cek plagiasi ini, bahkan UI hanya membayar Rp. 5000 rupiah saja melalui layanan yang disediakan BEM UI.

*Berpotensi Pungli di Lingkungan Kampus*

Praktik semacam ini bisa masuk kategori pungutan liar (pungli) jika dilihat dalam Pasal 11 Permendikbud No. 44/2012 ditentukan bahwa pungutan biaya pendidikan tidak boleh dikaitkan dengan penerimaan, penilaian hasil belajar, kelulusan peserta didik, dan/atau digunakan untuk kesejahteraan komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pungli merupakan kejahatan jabatan, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 huruf e yaitu “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.- (satu milyar rupiah)  Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.”

“Jika kampus lain bisa lebih murah bahkan gratis, kenapa di UNG justru lebih mahal? Apa logika pembiayaannya? Jangan sampai mahasiswa dikorbankan hanya untuk memenuhi target pemasukan unit tertentu,” kritik Aidil Pansariang selaku Wakil Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UNG.

Beban Baru Bagi Mahasiswa
Selain biaya kuliah, ujian, hingga penyusunan skripsi yang sudah tinggi, kini mahasiswa harus menghadapi tambahan biaya cek plagiasi yang dipatok dengan harga lebih mahal dari standar nasional. Hal ini memperlihatkan bahwa UNG gagal membaca situasi mahasiswa yang sedang berjuang menyelesaikan studi dengan keterbatasan finansial. Kebijakan ini pun dianggap sebagai preseden buruk: pendidikan yang mestinya menjadi hak, justru dipersulit dengan aturan yang kaku dan berbiaya tinggi

Exit mobile version